Ajaran Islam yang diajarkannya sangat kontroversial. Jika para wali lain di zamannya menanamkan Islam secara akulturasi, ia membangun Islam di Jawa secara asimilasi, yang kelak dikenal dengan Islam Jawa atau Islam Kejawen. Pandangan sufistik Islam diramunya dengan mistik Jawa. Lahirlah Islam yang tidak berwajah keras, tetapi memancarkan kesejukan—sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Itulah Syekh Siti Jenar.
Kehadirannya telah menenteramkan sekaligus menggelisahkan! Buku ini mengupas makna kematian yang diajarkan oleh tokoh yang lebih sering disalahpahami itu. Mengapa kematian? Menurut penulis buku ini, kematianlah yang melatarbelakangi sikap dan tindakan Siti Jenar dalam menempuh hidup. Dengan penguasaan filsafat Jawa yang mumpuni , dipadu dengan wawasan yang luas terhadap literatur-literatur modern, Achmad Chodjim membawa kita menyelami khazanah kearifan tradisional tentang rahasia alam, hidup, akal budi, hakikat dan eksistensi manusia— yang diperkaya dengan pelbagai argumentasi keagamaan, sekaligus menggugah kita untuk berpikir kritis, agar perbedaan pandangan bisa dirasakan sebagai rahmat.
Dalam uraiannya, Chodjim lebih jauh menunjukkan betapa Siti Jenar merupakan pemikir yang lebih maju dari zamannya. Jauh sebelum merebak pemikiran-pemikiran modern Eropa abad ke-18 hingga ke-21 mengenai demokrasi, keterbukaan, persamaan, kebebasan , dan persaudaraan, Syekh Siti Jenar telah mengajarkan semua itu pada abad ke-16.
“Buku ini menarik untuk dikaji, karena ‘keberanian’ penulis memberikan penilaian dan pembenaran terhadap perilaku dan ucapan Syekh Siti Jenar.” —GATRA
Leave a Reply