ISLAM MENCINTAI NUSANTARA (JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA)

Islam itu rahmatan lil alamin. Al-Quran jelas menyebutkan itu dalam banyak ayatnya. Ia mendatangi siapa saja dengan cinta dan kasih. Sejarah Nusantara pun mencatat bahwa Islam berhasil merasuk ke dalam jiwa manusia Nusantara, terutama Jawa, melalui jalur yang sangat lembut. Lelaku dakwah Sunan Kalijaga memberi kita pelajaran tentang semua itu. B. Wibowo, dalam buku ini, mengupas tuntas salah satu “jurus” Sunan Kalijaga untuk menanamkan Islam di dada orang Jawa; melalui taktik modifikasi budaya yang tak menyakiti siapapun—dengan mengajarkan tauhid melalui Kidung Kawedar. Dari buku ini kita bisa kembali belajar, bahwa sudah seharusnyalah Islam berwajah ramah. Islam tidak berantitesa dengan kearifan lokal manapun. Islam justru menyempurnakannya. Islam akan merasuk paripurna dalam hati melalui jalan yang lembut penuh cinta, bukannya dengan teriakan kemarahan dan pedang yang terhunus. Inilah DNA Islam di Nusantara, memposisikan agama sebagai jembatan perekat, bukan penyekat berbagai kehidupan sosial dan budaya.

 

Endorsemen:

 

Tak ada yang abadi termasuk Nusantara. Buku yang mengajak kita tersenyum dalam beragama ini setidaknya akan menunda kepunahan itu. Biar beragama secara ‘non Sunan Kalijaga’ saja yang akan mempercepatnya.”

 

—Sujiwo Tejo, Penulis Buku Megabestseller Tuhan Maha Asyik

 

“…Sangat menarik menempatkan buku Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Tafsir Suluk Kidung Kawedar ini dalam bingkai besar pemahaman ulang atas upaya penerapan Islam dalam ruang budaya (dalam hal ini Jawa terutama) yang dilakukan oleh para wali, terutama Sunan Kalijaga. Hal ini menjadi sangat penting, setidaknya mengingat fakta bahwa semakin ke sini semakin banyak generasi baru yang bukan saja tidak memahami bagaimana para pendahulu berjuang menerapkan Islam secara bertahap lewat jalur budaya; tapi bahkan lebih jauh lagi, malah menganggap para pendahulu tersebut seolah sebagai peletak dasar dari apa yang secara tergesa mereka kategorikan sebagai kesyirikan atau, setidaknya tradisi bid’ah.”

 

—Anis Sholeh Ba’asyin, Budayawan dan Pengasuh Suluk Maleman, Pati


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *